Senin, 06 September 2010

Hasil Mubahasah menanggapi keputusan pemerintah tentang penetapan awal Ramadhan dan Hari Raya

Diskripsi masalah
Dalam beberapa tahun terakhir pada saat menjelang Ramadhan dan perayaan hari raya idul fitri, kita lihat terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya Idul fitri.
Sebagian ulama menetepkan awal Ramadhan dan hari raya dengan ru'yah hilal di daerahnya, sedangkan sebagian ulama yang lain mengikuti keputusan Mentri Agama yang juga menetapkan awal Ramadhan dan hari raya berdasarkan ru'yah hilal yang di vokuskan pada 9 (sembilan) titik di Indonesia (termasuk di Lhoknga, Aceh)

Dalam kondisi yang demikian, pada saat pemerintah telah mengumumkan awal Ramadhan atau Syawwal (hari raya Idul fitri), sedangkan didaerah tidak terlihat bulan, maka terjadilah perbedaan yang sangat besar di tengah masyarakat, sebagian berpuasa sedangkan yang lain tidak, dan pada sa'at hari raya, sebagian ber hari raya sedangkan yang lain tidak. Hal ini membuat masyarakat kebingungan, ''apakah harus mengikuti keputusan pemerintah atau harus mengikuti fatwa ulama daerahnya''.
Pertanyaan inilah yang mendorong tim Lajnah Bahstul Masail LPI MUDI MESRA Samalang untuk meneliti dan membahas kembali masalah tersebut dan bahkan mengadakan forum MUBAHASTAH yang di ikuti oleh para ulama dan ahli Hisab se Aceh.

Yang menjadi Permasaalahan

Bagaimana sebenarnya kedudukan masaalah tersebut?
Apakah hukumnya berpuasa dan ber hari raya pada sa'at pemerintah (dalam hal ini Mentri Agama) telah menetapkan awal Ramadhan atau Syawwal sedangkan di daerah kita tidak terlihat bulan? Dan sebaliknya, bagaimanakah hukum berpuasa dan ber hari raya apabila pemerintah belum menetapkan awal Ramadhan atau Syawwal sedangkan di daerah kita sudah terlihat bulan?

Uraian

Pada hakikatnya, kewajiban berpuasa Ramadhan adalah dengan masuknya bulan Ramadhan, adapun melihat bulan atau sempurna bulan Sya'ban 30 hari sebagaimana yang tersebut di dalam beberapa hadist nabi semata-mata untuk mengetahui masuknya bulan ramadhan (للعلم بدخول رمضان) dan bukan sebagai sebab (علة) yang mewajibkan puasa. sebagaimana yang termaktub dalam kitab al Majmu' (syarah al muhazzab)
ولا يجب صوم رمضان إلا بدخوله ويعلم دخوله برؤية الهلال فان غم وجب استكمال شعبان ثلاثين ثم يصومون
Dan tidak wajib puasa Ramadhan kecuali dengan masuknya bulan Ramadhan, sedangkan masuknya Ramadhan dapat di ketahui dengan melihat bulan, maka jika bulan tertutup rawan wajib menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari dan berpuasa sesudah itu.

Dalam hadist nabi menjelaskan, ada 2 (dua) cara untuk mengetahui masuknya bulan Ramaadhan:
• Melihat bulan
• Sempurna bulan Sya'ban 30 hari
nabi bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطرو لرؤيته فان غم عليكم فاكملوا العدة رواه النسائي باسناد صحيح
Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan, maka jika bulan tertutup awan, sempurnakan hitungannya (30 hari).
Dalam hadist tersebut sudah jelas kita diwajibkan berpuasa kerena melihat bulan (setelah terbenam matahari pada 29 bulan Sya'ban) dan apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan, maka kita diperintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari, dan berpuasa sesudah itu. Sebagaimana yang tercantum dalam hadist yang lain:
فإذا غم عليه عد ثلاثين يوما ثم صام " رواه أبو داود والدارقطني

Adapun yang menjadi permasaalahan dari hadist tersebut:
Apakah kewajiban berpuasa hanya ditujukan kepada orang yang melihat bulan saja, atau juga diwajibkan kepada orang lain?
Pertanyaan di atas dapat terjawab dengan hadis ibnu umar:

أَخْبَرْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْت الْهِلَالَ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِه

Aku khabarkan kepada nabi bahwa aku telah melihat bulan, maka nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Nabi tidak hanya mewajibkan berpuasa kepada Ibnu umar, tetapi nabi sendiri juga ikut berpuasa bahkan memerintahkan manusia lain untuk ikut berpuasa dengan ru'yah Ibnu umar.

Dari urain di atas dapat kita fahami dengan jelas, bahwa tidak semua orang harus melihat bulan untuk berpuasa atau berhari raya, tetapi cukup satu orang saja yang melihat bulan, kemudia orang 'adil tersebut menkhabarkannya dan bersaksi di hadapan imam atau qadhi dengan mengucapkan أَشْهَدُ أَنِّي رَأَيْت الْهِلَالَ Aku bersaksi, bahwa aku telah melihat bulan. Sedangkan orang lain ikut berpuasa atau berhari raya dengan hasil ru'yah orang tersebut.
Yang menjadi pembahasan diantara para ulama adalah batas dan jarak tempuh yang masih boleh mengamalkan dengan ru'yah orang lain, apakah ru'yah di satu daerah hanya berlaku untuk daerah itu dan daerah lain yang berdekatan dengannya saja? Atau juga berlaku untuk daerah lain yang sangat jauh tapi masih dalam satu Negara atau bahkan sampai keluruh dunia?
Dalam hal ini ada beberapa poin yang perlu di perhatikan:
1. tentang sifat dan syarat orang yang melihat bulan.
2. kepada siapa berita itu di sampaikan (kepada hakim atau kepada masyarakat umum)
3. tentang hukum yang di putuskan oleh hakim setelah menerima kesaksian orang yang melihat bulan.
Penjelasan:
1. Adapun sifat dan syarat orang melihat bulan maka sebagian ulama berpendapat, disyaratkan satu orang yang 'adil yang dapat di terima sebagai saksi yaitu: laki-laki dewasa lagi merdeka (bukan hamba sahaya). Tetapi ulama yang lain mewajibkan dua orang yang 'adil. Adapun selain orang 'adil maka kesaksiannya di tolak (tidak diterima). Tetapi orang tersebut wajib berpuasa karena mengamalkan ru'yahnya sendiri, dan juga wajib puasa kepada orang lain yang manganggap benar kesaksiannya.
2. Apabila dia mengabarkan tentang ru'yah hilal kepada masyarakat umum dan bukan kepada qadhi (hakim) maka yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang menganggap benar saja, sedangkan yang lain tidak wajib. Sebaliknya apabila dia bersaksi di hadapan hakim, dan hakim menerima kesaksiannya, maka wajib berpuasa kepada seluruh masyarat di dalam wilayah hakim tersabut, walaupun orang-orang yang berbeda pendapat dengan hakim. Sebagaimana yang tersebut pada poin nomor tiga.
3. apabila hakim telah menerima kesaksian ru'yah hilal, padahal hakim tidak memutuskan dan menetapkan secara pasti tentang hari pertama Ramadhan atau Syawwal maka wajib berpuasa berdasarkan kepada ru'yah hilal yang telah diterima kesaksiannya oleh hakim kepada seluruh masyarakat di dalam wilayah hakim tersebut dengan syarat jika tidak terlalu jauh dari daerah tempat tinggal hakim. Sebagaimana yang di jelaskan dalam kitab Bugyatul mustarsyidin:
(مسألة : ي) : إذا ثبت الهلال ببلد عم الحكم جميع البلدان التي تحت حكم حاكم بلد الرؤية وإن تباعدت إن اتحدت المطالع ،
Sedangkan apabila hakim telah memutuskan dan menetapkan awal Ramadhan atau awal Syawwal berdasarkan ru'yah hilal maka seluruh masyarakat yang berada di dalam wilayah kekuasaan hakim wajib mengamalkan dengan keputusan hakim tersebut, walaupun di daerah yang ikhtilaf mathalig ( berbeda waktu terbenam matahari) dengan daerah tempat tinggal hakim. Seperti Aceh dan Jakarta. Sebagaimana yang tersebut dalam kitab I'anatut thalibin, Tuhfatul Muhtaj, dan kitab Tuhfatul Jaibi dan juga di uraikan dalam kitab Hawasyi Syarwani.
(تتمة) لو أثبت مخالف الهلال مع اختلاف المطالع لزمنا العمل بمقتضى إثباته – اعانة الطالبين
( تَنْبِيهٌ ) أَثْبَتَ مُخَالِف الْهِلَال مَعَ اخْتِلَافِ الْمَطَالِعِ لَزَمَنَا الْعَمَلُ بِمُقْتَضَى إثْبَاتِهِ ؛ - تحفة المحتاج

Diskripsi masalah
Dalam beberapa tahun terakhir pada saat menjelang Ramadhan dan perayaan hari raya idul fitri, kita lihat terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya Idul fitri.
Sebagian ulama menetepkan awal Ramadhan dan hari raya dengan ru'yah hilal di daerahnya, sedangkan sebagian ulama yang lain mengikuti keputusan Mentri Agama yang juga menetapkan awal Ramadhan dan hari raya berdasarkan ru'yah hilal yang di vokuskan pada 9 (sembilan) titik di Indonesia (termasuk di Lhoknga, Aceh)

Dalam kondisi yang demikian, pada saat pemerintah telah mengumumkan awal Ramadhan atau Syawwal (hari raya Idul fitri), sedangkan didaerah tidak terlihat bulan, maka terjadilah perbedaan yang sangat besar di tengah masyarakat, sebagian berpuasa sedangkan yang lain tidak, dan pada sa'at hari raya, sebagian ber hari raya sedangkan yang lain tidak. Hal ini membuat masyarakat kebingungan, ''apakah harus mengikuti keputusan pemerintah atau harus mengikuti fatwa ulama daerahnya''.
Pertanyaan inilah yang mendorong tim Lajnah Bahstul Masail LPI MUDI MESRA Samalang untuk meneliti dan membahas kembali masalah tersebut dan bahkan mengadakan forum MUBAHASTAH yang di ikuti oleh para ulama dan ahli Hisab se Aceh.

Yang menjadi Permasaalahan

Bagaimana sebenarnya kedudukan masaalah tersebut?
Apakah hukumnya berpuasa dan ber hari raya pada sa'at pemerintah (dalam hal ini Mentri Agama) telah menetapkan awal Ramadhan atau Syawwal sedangkan di daerah kita tidak terlihat bulan? Dan sebaliknya, bagaimanakah hukum berpuasa dan ber hari raya apabila pemerintah belum menetapkan awal Ramadhan atau Syawwal sedangkan di daerah kita sudah terlihat bulan?

Uraian

Pada hakikatnya, kewajiban berpuasa Ramadhan adalah dengan masuknya bulan Ramadhan, adapun melihat bulan atau sempurna bulan Sya'ban 30 hari sebagaimana yang tersebut di dalam beberapa hadist nabi semata-mata untuk mengetahui masuknya bulan ramadhan (للعلم بدخول رمضان) dan bukan sebagai sebab (علة) yang mewajibkan puasa. sebagaimana yang termaktub dalam kitab al Majmu' (syarah al muhazzab)
ولا يجب صوم رمضان إلا بدخوله ويعلم دخوله برؤية الهلال فان غم وجب استكمال شعبان ثلاثين ثم يصومون
Dan tidak wajib puasa Ramadhan kecuali dengan masuknya bulan Ramadhan, sedangkan masuknya Ramadhan dapat di ketahui dengan melihat bulan, maka jika bulan tertutup rawan wajib menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari dan berpuasa sesudah itu.

Dalam hadist nabi menjelaskan, ada 2 (dua) cara untuk mengetahui masuknya bulan Ramaadhan:
• Melihat bulan
• Sempurna bulan Sya'ban 30 hari
nabi bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطرو لرؤيته فان غم عليكم فاكملوا العدة رواه النسائي باسناد صحيح
Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan, maka jika bulan tertutup awan, sempurnakan hitungannya (30 hari).
Dalam hadist tersebut sudah jelas kita diwajibkan berpuasa kerena melihat bulan (setelah terbenam matahari pada 29 bulan Sya'ban) dan apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan, maka kita diperintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari, dan berpuasa sesudah itu. Sebagaimana yang tercantum dalam hadist yang lain:
فإذا غم عليه عد ثلاثين يوما ثم صام " رواه أبو داود والدارقطني

Adapun yang menjadi permasaalahan dari hadist tersebut:
Apakah kewajiban berpuasa hanya ditujukan kepada orang yang melihat bulan saja, atau juga diwajibkan kepada orang lain?
Pertanyaan di atas dapat terjawab dengan hadis ibnu umar:

أَخْبَرْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْت الْهِلَالَ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِه

Aku khabarkan kepada nabi bahwa aku telah melihat bulan, maka nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Nabi tidak hanya mewajibkan berpuasa kepada Ibnu umar, tetapi nabi sendiri juga ikut berpuasa bahkan memerintahkan manusia lain untuk ikut berpuasa dengan ru'yah Ibnu umar.

Dari urain di atas dapat kita fahami dengan jelas, bahwa tidak semua orang harus melihat bulan untuk berpuasa atau berhari raya, tetapi cukup satu orang saja yang melihat bulan, kemudia orang 'adil tersebut menkhabarkannya dan bersaksi di hadapan imam atau qadhi dengan mengucapkan أَشْهَدُ أَنِّي رَأَيْت الْهِلَالَ Aku bersaksi, bahwa aku telah melihat bulan. Sedangkan orang lain ikut berpuasa atau berhari raya dengan hasil ru'yah orang tersebut.
Yang menjadi pembahasan diantara para ulama adalah batas dan jarak tempuh yang masih boleh mengamalkan dengan ru'yah orang lain, apakah ru'yah di satu daerah hanya berlaku untuk daerah itu dan daerah lain yang berdekatan dengannya saja? Atau juga berlaku untuk daerah lain yang sangat jauh tapi masih dalam satu Negara atau bahkan sampai keluruh dunia?
Dalam hal ini ada beberapa poin yang perlu di perhatikan:
1. tentang sifat dan syarat orang yang melihat bulan.
2. kepada siapa berita itu di sampaikan (kepada hakim atau kepada masyarakat umum)
3. tentang hukum yang di putuskan oleh hakim setelah menerima kesaksian orang yang melihat bulan.
Penjelasan:
1. Adapun sifat dan syarat orang melihat bulan maka sebagian ulama berpendapat, disyaratkan satu orang yang 'adil yang dapat di terima sebagai saksi yaitu: laki-laki dewasa lagi merdeka (bukan hamba sahaya). Tetapi ulama yang lain mewajibkan dua orang yang 'adil. Adapun selain orang 'adil maka kesaksiannya di tolak (tidak diterima). Tetapi orang tersebut wajib berpuasa karena mengamalkan ru'yahnya sendiri, dan juga wajib puasa kepada orang lain yang manganggap benar kesaksiannya.
2. Apabila dia mengabarkan tentang ru'yah hilal kepada masyarakat umum dan bukan kepada qadhi (hakim) maka yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang menganggap benar saja, sedangkan yang lain tidak wajib. Sebaliknya apabila dia bersaksi di hadapan hakim, dan hakim menerima kesaksiannya, maka wajib berpuasa kepada seluruh masyarat di dalam wilayah hakim tersabut, walaupun orang-orang yang berbeda pendapat dengan hakim. Sebagaimana yang tersebut pada poin nomor tiga.
3. apabila hakim telah menerima kesaksian ru'yah hilal, padahal hakim tidak memutuskan dan menetapkan secara pasti tentang hari pertama Ramadhan atau Syawwal maka wajib berpuasa berdasarkan kepada ru'yah hilal yang telah diterima kesaksiannya oleh hakim kepada seluruh masyarakat di dalam wilayah hakim tersebut dengan syarat jika tidak terlalu jauh dari daerah tempat tinggal hakim. Sebagaimana yang di jelaskan dalam kitab Bugyatul mustarsyidin:
(مسألة : ي) : إذا ثبت الهلال ببلد عم الحكم جميع البلدان التي تحت حكم حاكم بلد الرؤية وإن تباعدت إن اتحدت المطالع ،
Sedangkan apabila hakim telah memutuskan dan menetapkan awal Ramadhan atau awal Syawwal berdasarkan ru'yah hilal maka seluruh masyarakat yang berada di dalam wilayah kekuasaan hakim wajib mengamalkan dengan keputusan hakim tersebut, walaupun di daerah yang ikhtilaf mathalig ( berbeda waktu terbenam matahari) dengan daerah tempat tinggal hakim. Seperti Aceh dan Jakarta. Sebagaimana yang tersebut dalam kitab I'anatut thalibin, Tuhfatul Muhtaj, dan kitab Tuhfatul Jaibi dan juga di uraikan dalam kitab Hawasyi Syarwani.
(تتمة) لو أثبت مخالف الهلال مع اختلاف المطالع لزمنا العمل بمقتضى إثباته – اعانة الطالبين
( تَنْبِيهٌ ) أَثْبَتَ مُخَالِف الْهِلَال مَعَ اخْتِلَافِ الْمَطَالِعِ لَزَمَنَا الْعَمَلُ بِمُقْتَضَى إثْبَاتِهِ ؛ - تحفة المحتاج

Selanjutnya r�r�

0 komentar:

Posting Komentar